Senin, 24 Oktober 2011

Konstruksi Ekonomi Umat Berbasis Zakat

Adanya perbedaan penghidupan dan kehidupan antara seseorang atau satu kelompok dengan orang atau kelompok lain, sesungguhnya merupakan suatu sunnatullah (aturan Allah) yang bersifat pasti dan tetap, kapanpun dan dimanapun. Kaya dan miskin akan selalu ada, sama halnya seperti adanya siang dan malam, sehat dan sakit, tua dan muda serta lain sebagainya.

Namun perbedaan tersebut, bukanlah untuk dipersoalkan apalagi sampai melahirkan pertentangan antar kelas, akan tetapi untuk disillaturrahimkan dan dipertemukan dalam bingkai ta'awun/tolong menolong, bantu membantu, saling mendukung dan saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya. Betul, orang miskin membutuhkan orang kaya, akan tetapi juga orang kaya membutuhkan orang miskin dan kaum dhuafa lainnya (QS. Al-An'am [6]: 165).


Berwala/tolong-menolong dan bersinergi antara sesama orang-orang yang beriman akan melahirkan kekuatan, sekaligus mengundang rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah [9] ayat 71.


Betapa besar perhatian ajaran Islam terhadap kaum dhuafa bisa dilihat dari berbagai aturan, terutama yang berkaitan dengan harta (al-Maal). Berikut ini dikemukakan beberapa contoh.


Pertama, zakat diutamakan untuk kesejahteraan fakir miskin yang merupakan mustahiq utama (QS. At-Taubah [9]: 60).

Kedua, infaq dan shadaqah (di luar zakat) salah satu fungsinya untuk mensejahterakan fakir-miskin, disamping untuk kerabat, ibn sabil maupun anak yatim. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 177, 215, 273, dan QS. Al-Isra' [17] ayat 26-27.


Ketiga, pembayaran fidyah bagi yang tidak mampu berpuasa diberikan untuk orang-orang miskin (QS. Al-Baqarah [2]: 184).


Keempat, salah satu alternatif kifarat sumpah adalah memberikan makanan atau pakaian untuk fakir miskin (QS. Al-Maidah [5]: 89).


Kelima, memperhatikan fakir miskin dianggap sebagai "al-Aqobah" (menaiki tangga yang berat), yang mengundang nilai dan pahala yang besar dari Allah SWT (QS. Al-Balad [90]: 11-16).

Keenam, bahkan ajaran Islam menumbuhkan dan membangkitkan semangat kaum dhuafa yang sewaktu-waktu menjadi pemimpin dan pewaris kepemimpinan di muka bumi (QS. Al-Qashash [28]: 5).


Sungguh suatu ide dan gagasan yang cemerlang, yang dilandasi oleh ajaran Islam yang kuat seperti dikemukakan di atas, para pendiri bangsa ini (the founding fathers) telah memposisikan negara sebagai penanggung jawab utama terhadap penanggulangan masalah kemiskinan. Hal ini sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dikemukakan dalam UUD 1945 pasal 28, bahwa bahwa orang-orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Pasca krisis, jumlah penduduk miskin Indonesia masih besar dan tersebar luas. Di tahun 2004 BPS memperkirakan jumlah orang miskin adalah 36,1 juta orang atau 16,6% dari total penduduk. Pada saat yang sama perhitungan Bank Dunia menunjukkan bahwa angka kemiskinan tahun 2004 hanya 7,4% dengan garis kemiskinan US$1 sehari, maka jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi US$2 sehari, maka angka kemiskinan melonjak menjadi 53,4% atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini ekuivalen dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.

Kondisi ini sesungguhnya merupakan potret dari kemiskinan struktural. Artinya, kemiskinan yang ada tidak hanya disebabkan oleh lemahnya etos kerja, melainkan terutama disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kemiskinan model saat ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mengalirkan kekayaan yang dimiliki oleh kelompok the have kepada the poor. Diperlukan sebuah sistem yang mampu menciptakan Keadilan di mana kemandirian ekonomi dapat menciptakan peluang kerja yang mampu menggerakkan sector riil sehingga secara otomatis kemiskinan juga dapat teratasi.

Di tengah problematika perekonomian ini, zakat muncul menjadi instrument yang solutif dan sustainable. Zakat sebagai instrument pembangunan perekonomian dan pengetasan kemiskinan umat di daerah, memiliki banyak keunggulan dibandingkan intrumen fiscal konvensional yang kini telah ada (lihat Mustafa Edwin Nasution dalam Zakat Sebagai Instrumen Pembangunan Ekonomi Umat di Daerah).

Pertama, penggunaan zakat sudah ditentukan secara jelas dalam syariat (QS. At Taubah [9]: 60) di mana zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan saja (ashnaf) yaitu : orang-orang fakir, miskin, amil. Mu'allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. Jumhur fuqaha sepalat bahwa selain 8 golongan ini, tidak halal menerima zakat. Dan tidak ada satu pihak pun yang berhak mengganti atau merubah ketentuan ini. Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor. Tak ada satupun instrument fiskal konvensional yang memiliki karakteristik unik seperti ini. Karena itu zakat akan lebih efektif mengentaskan kemiskinan karena alokasi dana yang sudah pasti dan diyakini akan lebih tepat sasaran. Instrumen yang langsung berkaitan dengan kebutuhan bagi fakir-miskin hanyalah zakat.

Kedua, zakat memiliki prosentase yang rendah dan tetap serta tidak pernah berubah-ubah karena sudah diatur dalam syarat sebagai misal, zakat yang diterapkan pada basis yang luas seperti zakat perdagangan, tarifnya hanya 2,5%, ketentuan tarif zakat ini tidak boleh diganti atau diubah oleh siapapun. Karena itu penerapan zakat tidak akan mengganggu insentif investasi dan akan menciptakan transparansi kebijakan public serta memberikan kepastian usaha.

Ketiga, zakat memiliki prosentase berbeda, dan mengizinkan keringanan bagi usaha yang memiliki tingkat kesulitan produksi lebih tinggi. Sebagai misal, zakat untuk produk pertanian yang dihasilkan dari lahan irigasi tariff-nya adalah 5% sedangkan jika dihasilkan dari lahan tadah hujan tariff-nya 10%. Karakteristik ini membuat zakat bersifat market-friendly sehingga tidak akan mengganggu iklim usaha.