Abdulbahry kecil pun kemudian diboyong keluarga menuju Seattle, Amerika Serikat. Disana ia tumbuh besar dan dewasa. Kecintaan besarnya terhadap ilmu agama, mengantarkan dirinya menjadi mahasiswa di Universitas Islam Madinah. Sejak saat itu Madinah menjadi kota peraduannya dalam mengais ilmu demi ilmu. Sebuah langkah yang terlihat jarang dilakukan oleh pria Vietnam pada umumnya.
“Di Seattle saya besar selama 30 tahun, kemudian belajar di Madinah selama 6 tahun. Dua tahun kemudian saya mulai bolak balik ke Madinah” ujarnya saat ditanya Eramuslim.com di tengah-tengah kunjungannya ke Jakarta, Selasa 18/10.
Kita ketahui bersama, Vietnam adalah sebuah Negara dimana Buddha Mahayana, Taoisme dan Konfusianisme memiliki pengaruh kuat terhadap kehidupan berbudaya dan beragama masyarakat. Bahkan, menurut sensus tahun 1999, 80.8% orang Vietnam tidak beragama. Akan tetapi, sapanyana, meski dikelilingi situasi penuh kekafiran, Syekh Abdulbahry tidak tergoda untuk pindah haluan. Ia istiqomah di jalan dakwah. Mungkin karena hal itu jua yang membuatnya semangat untuk melebarkan sayap dakwah ke seluruh dunia tentang betapa solutifnya ajaran Islam.
Pasca enam tahun mengenyam pendidikan di Madinah, ayah empat orang anak ini kemudian kembali ke Vietnam dan Kamboja. Disana ia menjadi seorang guru dan diamanahi poisisi sebagai Direktur Yayasan Amal Ummul Quro.
Kini Bersama keluarganya, pakar Tafsir dan Hadis ini menjabat sebagai Imam Masjid Jaamiul Muslimin di Seattle, WA. Tidak hanya itu, Syekh Bahri juga memegang posisi Presiden Masyarakat Pengungsi Cham dan Wakil-Presiden Islamic Center Washington State. Syekh Bahry juga termasuk muslim yang banyak mengkritik modernisme masyarakat Amerika. Pesatnya laju teknologi dan kesibukan tiada henti menjadi keladi dari krisis spiritualitas negeri Paman Sam itu. Maka itu Syekh Abdulbahry Yahya mencoba bergerak mengatasi kekacauan ini. Metodenya terlihat sederhana, yaitu bagaimana Islam bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
0 komentar:
Posting Komentar