
Dilek Yucel, salah seorang peserta, segera unjuk kemampuan dengan membuat dua desain jilbab bertuliskan "Jilbab adalah milik saya". "Saya memilih slogan itu karena saya melihatnya bukan hanya sebagai simbol, melainkan ada nilai-nilai di dalamnya," papar Yucel.
Yucel mengaku telah mengenakan jilbab sejak berusia 19 tahun. Sebelumnya, dia tidak berani memakai jilbab. "Banyak temanku yang mengalami perlakuan diskriminatif saat mereka mengenakan jilbab. Tapi aku mulai sadar bahwa perlakuan itu merupakan bagian dari usaha untuk menerapkan Islam secara utuh," ujarnya.
Anggota Asosiasi Pendidikan dan Pengajaran Model (IVY), Renater Tanzberger, menuturkan pengetahuan dunia barat terkait jilbab tergolong minim. Itu sebabnya pameran ini memberikan kesempatan kepada Muslimah untuk mempresentasikan kepada publik pentingnya jilbab bagi mereka. "Saya saja kesulitan menjelaskan apa itu jilbab," papar Renater sebagaimana dilansir Abna.ir, Ahad (23/10).
Pakar Politik, Leila Hadj-Abdou menyatakan Islam begitu menghargai perempuan. Bentuk penghargaan itu terungkap dalam anjuran untuk mengenakan pakaian yang menutup aurat. Ironisnya, oleh pihak tertentu, pakaian yang menutup aurat itu menjadi legitimasi menyudutkan Islam. "Untuk itu kami coba mengamati fenomena ini dalam sejumlah kasus yang disuarakan kelompok pembela hak perempuan dan kelompok sayap kanan Eropa," katanya.
Bersama Al Maghrib Institute, Syekh Abdulbahry setahap demi setahap mengajarkan masyarakat tentang indahnya ajaran agama Islam. Objek dakwahnya tidak hanya di Amerika, tapi juga Kanada. Khusus Amerika, mereka memiliki 15 cabang. “Seluruh siswa kami di Amerika tidak pernah berhenti setelah belajar, karena Islam harus dipraktekan ke masyarakat. Dakwah itu tidak boleh berhenti.”
Al Maghrib Instutute berkembang menjadi lembaga pembelajaran keagamaan bagi masyarakat Amerika. Syekh Bahry banyak membuka kelas dan mengundang animo masyarakat Barat. “Al Maghrib memiliki banyak murid dari berbagai latar belakang yang ada.”
Al Maghrib sendiri, kata Syekh Bahry tidak merujuk hanya pada satu mazhab tertentu, namun jika disuruh untuk memilih maka ia akan merujuk kepada Imam Syafi’i. “Kami mengkombinasi seluruh ilmu pengetahuan dalam Islam,” terangnya.
Kini setelah 10 tahun berdiri, Syekh Bahry dan Al Maghrib Institute berencana membuka cabang di Indonesia dan Malaysia. “Dan kita berharap ini tidak saja menyebar di Amerika dan Kanada tapi di seluruh dunia.” pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar