Senin, 23 Juli 2012

Kaya Lewat Mudik

Setiap tahun, lebih dari 20 juta orang yang mudik saat menjelang Lebaran alias Idul Fitri. Dari Jakarta saja, jumlah pemudik diperkirakan mencapai 8 juta orang. Belum lagi pemudik dari pusat-pusat kota di seluruh Indonesia kembali ke kampung halaman mereka, jumlahnya bisa lebih besar lagi. Bahkan, mereka yang berada di luar negeri pun, setiap setahun sekali mereka selalu pulang kampung.
Setiap tahun terus terjadi pola migrasi (perpindahan) penduduk desa ke pusat-pusat kota, yang menjadi pusat ekonomi. Orang desa terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka untuk mencari pekerjaan di kota, karena lapangan kerja di desa semakin menyempit. Mereka mengumpulkan uang dan rezeki, yang akan menghidupi diri mereka, dan kemudian sebagian mereka sisihkan bagi keluarga mereka di kampung halaman.
Tanpa disadari, ada sebuah siklus alamiah didalamnya seperti distribusi uang, asset, kekayaan, rezeki ke penduduk desa, yang tidak diatur sama sekali oleh pemerintah. Semua uang dalam jumlah yang tidak kecil mengalir ke desa-desa. Berapa banyak kalau dipukul rata, misalnya setiap orang yang mudik membawa uang Rp 500.000 - Rp 2 juta rupiah? Jumlahnya bisa mencapai puluhan triliun.
Pola tersebut mempunyai dampak ekonomi, yang nantinya akan mengakibatkan terjadinya proses transformasi sosial, secara besar-besaran. Interaksi dan dinamika orang-orang desa yang melakukan migrasi ke pusat-pusat kota itu, mempunyai efek langsung, secara ekonomi, budaya dan agama.
Tidak sedikit dari mereka yang awalnya hanya terfokus ingin membantu keluarganya, kemudian berubah ingin membantu kampung halaman mereka menjadi lebih maju. Karena di pusat-pusat kota muncul organisasi kedaerahan, yang tujuannya bukan hanya menjaga ikatan emosional kedaerahan, tetapi juga mempunyai komitmen memperbaiki kehidupan daerah mereka yang masih tertinggal.
Pola mudik alias pulang kampung itu, berakar dari sejarah dalam kehidupan bangsa Indonesia, yang mayoritas beragama Islam. Akar kehidupan yang bersumber dari ajaran agama Islam itulah, yang kemudian mempunyai pengaruh langsung bagi bangsa Indonesia, seperti "Birrulwaladain" (berbakti kepada dua orang tua) dan keinginan menjaga "Silaturrahmi" diantara keluarga.
Tak heran setiap tahun orang-orang yang mudik alias pulang kampung, semakin tidak rasional, jika diukur dengan nalar. Mereka menggunakan sarana apa saja. Mobil, kapal laut, pesawat, bajaj, sampai menggunakan kendaraan bermotor, dan berboncengan dengan isteri dan anak, sekadar ingin kembali ke kampung halaman mereka yang sudah lama ditinggalkan. Bahkan, beberapa orang yang tinggal jauh dari pusat kota Jakarta, yaitu Banyuwangi. Mereka pulang ke kampung halamannya ke Banyuwangi dengang menggunakan sepeda motor. Ini sangat tidak bisa dinalar. Panjang Jakarta - Banyuwangi berjarak 1.200 kilometer. Tetapi, mereka rela menempuh jarak yang sangat panjang, agar bisa bertemu dengan orang tua, dan sanak famili.
Pola mudik alias pulang kampung, yang bersumber dari ajaran Islam, yaitu "Birrulwaladain" dan "Silaturrahmi" ini, dalam jangka panjang akan mempunyai nilai positif, menuju sebuah perubahan atau transformasi sosial, dan akan semakin mendekatnya pola hubungan masyarakat antara satu daerah dengan daerahnya lainnya, dan antara kota dan desa.

0 komentar:

Posting Komentar